Jumat, 13 Mei 2016

MEMPERINGATI WORLD NO TOBACCO DAY 1 MEI : KETIKA MEROKOK TIDAK MENJADI HAK ASASI BAGI SETIAP ORANG



Pesan dibalik Peringatan World No tobacco Day.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak tahu bahwa setiap tanggal 30 Mei diperingati sebagai Hari Anti Tembakau Sedunia. Tidak berlebihan jika momen terkait anti tembakau sebagai hari yang diperingati oleh seluruh manusia di belahan bumi ini. Mengingat ada kandungan berbahaya bagi kesehatan dari produk tembakau yang sudah menjadi suatu “budaya” di masyarakat kita yaitu rokok. Mengapa rokok harus menjadi tema penting dalam setiap World  No Tobacco Day. Karena sampainsaat ini tidak bisa dipungkiri bahwa isu pengendalian tembakau (tobacco control issue) masih menjadi isu pro dan kontra baik pada oleh pihak swasta (pengusaha), pemerintah, maupun masyarakat.
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan. Kesehatan adalah hak dasar. Setiap orang dapat menikmati hak-hak lain bilamana mereka sehat. Negara memiliki kewajiban menjamin setiap setiap orang untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau dan kondusif bagi kehidupan manusia yang berderajat. Kesehatan adalah hak asasi manuasia yang fundamental dan tak ternilai, demi terlaksananya hak asasi yang lainnya.
Upaya negara membebaskan warga dari paparan asap rokok adalah bagian dari perwujudan kewajiban negara dalam hak atas kesehatan. Upaya ini untuk melindungi masyarakat dari bahaya produk tembakau yang secara alamiah telah dibuktikan. Dalam asap rokok terdapat campuran kompleks sekitar 4000 senyawa kimia, termasuk diantaranya 70 bahan yang diketahui atau memiliki kemungkinan bersifat karsinogen bagi manusia. Bahkan Surgeon General Report (2010) mengungkapkan bahwa paparan asap rokok mengandung 7000 zat beracun.
Hak atas kesehatan dan lingkungan hidup yang sehat merupakan hak asasi manusia yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 H UUD 1945 menjamin setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal tersebut dijamin pula oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 9 ayat (3) UU 39/1999 menjamin setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jadi sudah seharusnya dalam hal ini pemerintah mengatur dan mengendalikan produk-produk tembakau terutama rokok yang asapnya tidak hanya dihirup oleh perokok tetapi juga dihirup oleh orang lain disekitarnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak hidup warga masyarakatnya. Jika Pemerintah belum membuat kebijakan yang jelas dan tegas dalam penbendalian produk-produk tembakau, bisa diartikan bahwa pemerintah telah mengabaikan dan melanggar hak hidup warga negaranya lebih jauh lagi pemerintah telah melanggar institusi (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013)..
Konsumsi rokok tidak hanya membahayakan perlindungan terhadap hak asasi atas kesehatan dan hak atas lingkungan yang sehat, lebih jauh, ia juga berbahaya dan mengancam hak atas hidup setiap warga masyarakat. Hal ini tidak terbatas pada hak hidup perokok tetapi yang lebih utama adalah hak hidup orang yang tidak merokok dari bahaya asap rokok, terutama para kaum perempuan dan anak-anak. Ingat dalam asap rokok terdapat campuran kompleks sekitar 4000 senyawa kimia, termasuk diantaranya 70 bahan yang diketahui atau memiliki kemungkinan bersifat karsinogen bagi manusia. Dimana dampak kesehatan dari kecanduan tembakau yang didalamnya termasuk rokok meliputi : kanker paru, mulut, pagkreas dan berbagai jenis kanker lainnya, penyakit jantung dan serangan jantung, stroke dan masalah vaskular lainnya, penyakit dan maslah pernafasan seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan sulit bernafas, serta komplikasi reproduksi seperti keguguran dan kemandulan.

Aturan pemerintah Terkait Pengendalian Produk Tembakau
            Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 115 ayat 1 menyebutkan bahwa Kawasan Tanpa Rokok antara lain :
1.      Fasilitas pelayanan kesehatan;
2.      Tempat proses belajar mengajar;
3.      Tempat anak bermain;
4.      Angkutan umum;
5.      Tepat kerja; dan
6.      Tempat umum
7.      Tempat lain  yang ditetapkan.
Sedangkan dalam pasal 115 ayat 2 menyebutkan pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Kemudian turunan dari Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif berupa produk Tembakau untuk kesehatan yng didalmnya mengatur mengenai kemasan produk tembakau, larangan sposor produk tembakau, laranagn menjual rorok yerhadap anak-anak dan i bu hamil. Dengan adanya payung hukum yang kuat ini. Seharusnya Pemerintah daerah baik propinsi maupun  pemerintah kabupaten/kota segera menindak lanjuti regulasi tersebut dengan membuat perda  (peraturan daerah) dalam bentuk peraturan gubernur atau peraturan bupati/Walikota tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Kabupaten Jember sebagai salah satu kabupaten penghasil tembakau di Jawa Timur bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa terkait hal ini. Karena peraturan Kawasan Tanpa Rokok tidak melarang untuk merokok tetapi mengatur mereka agar tidak merokok di tempat umum yang notabene banyak di bsekitar mereka orang yang tidak merokok, permpuan dan anak-anak yang berhak mengirup udara bersih tanpa asap rokok. Setidaknya kita bisa belajar dari Kabupaten Gunung Kidul  misalnya. Walaupun termasuk daerah yang PADnya kecil namun Bupatinya sudah memiliki komitmen yang besar terhadap upaya melindungi rakyatnya dari bahaya asap rokok. Yaitu dengan Peraturan Bupati yang melarang reklame rokok di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Bahkan Bupati langsung turun untuk mengganti reklame rokok dengan reklame berisi ajakan untuk memiliki perilaku hidup sehat. Lain halnya dengan Walikota Padang Panjang, Walikota Bogor dan Walikota Pekalongan yang telah memiliki Perda untuk melarang reklame rokok, mengungkapkan bahwa ternyata pelarangan reklame rokok tersebut tidak berdampak pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) . karena masukan dari rekalme rokok dengan mudah diganti oleh perusahaan lain dari perusahaan pulsa, otomotif dan telpun seluler, dsb.
Di Jawa Timur sendiri ada beberapa perda di tingkat Kabupaten/Kota yang mengatur tentang kawasan tanpa rokok, yaitu Kota surabaya, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Sidoarjo dalam bentuk perda, dan Kota Probolinggo dalam bentuk Perwali (Peraturan walikota). Sampai bulan Mein tahun 2013 telah terdapat 85 kabupaten/kota yang sudah memiliki kebijakan kawasan tanpa rokok dalam berbagai bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, peraturan Bupati, Peraturan walikota, dan bentuk peraturan lainnya (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Apakah Kita Siap Dengan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
            Adanya regulasi pengendalian produk tembakau termasuk rokok di level pemerintahan pusat yaitu berdasarkan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif berupa produk Tembakau untuk kesehatan yang didalamnya mengatur mengenai kemasan produk tembakau, larangan sposor produk tembakau, larangan menjual rorok terhadap anak-anak dan ibu hamil, maka menjadi pedoman utama bagi daerah untuk menindak lanjuti aturan tersebut dalam bentuk peraturan daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, kebijakan ini sudah didukung oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil Survey Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dilakukan di 8 Kota besar di Indonesia yaitu : jakarta, surabaya, Bandung, Makasar, Medan, semarang, Palembang dan Banjarmasin menunjukkan bahwa 92% responden setuju bahwa asap rokok orang lain berbahaya bagi kesehatan, 72% responden mersa terganggu dengan sapa rokok dan 88% setuju dengan kebijakan kawasan tanpa rokok (Abadi, 2011).
            Survey yang lain dilakukan oleh MTCC (Muhammadiyah Tobacco Control  Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, melibatkan 1.018 responden dari masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berumur lebih dari 15 tahun, menunjukkan hasil bahwa  88% responden mendukung kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, 91% responden mendukung larangan merokok di perkantoran dan tempat kerja tertutup. 75% responden mendukung larangan merokok di restoran, 95% responden mendukung larangan merokok di rumah sakit dan klinik. 83% responden mendukung larangan merokok di tempat umum seperti mall, tempat perbelanjaan dan terminal. 90% responden mendukung larangan merokok di institusi pendidikan seperti di sekolah, kampus dan universitas. 94% responden mendukung larangan merokok di tempat ibadah. 845 responden mendukung larangan merokok di angkutan umum. Yang menarik juga dari survey ini adalah 85% responden menyatakan bahwa lebih penting hak untuk mendapatkan  udara bersih daripada hak perokok untuk merokok di dalam ruangan. Bahkan 68% perokok mendukung adanya peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di ruang tertutup (MTCC UMY, 2011).
Kabupaten Jember terkenal sebagai salah satu daerah penghasil utama tembakau di Indonesia. Kabupaten Jember menduduki urutan kedua setelah Kabupaten Pamekasan, dengan rincian luas lahan sebesar 13.498 hektar, dengan jumlah petani sebesar 28.423 orang dan jumalah produksi sebesar 7.235 ton (Radjab, 2013). Pada tahun 2011, terdapat 24.616 petani tembakau tersebar di 24 kecamatan dari 31 kecamatan di Kabupaten Jember. Sedangkan luas lahan tembakau mencapai 10.009 hektar dan produksi tembakau sebesar 6.130 ton (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember, 2012).
            Berkaitan faktor sejarah, pemerintah Kabupaten Jember menjadikan daun tembakau sebagai salah satu gambar lambang daerah. Hal inilah yang selama ini dianggap sebagai penyebab tidak adanya upaya pengendalian dampak tembakau di Kabupaten Jember. Namun hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa kualitas hidup petani tembakau di Jember sangat kurang karena berkaitan dengan aspek lingkungan fisik (iklim) dan sosial (tata niaga yang dinilai merugikan petani tembakau) serta aspek psikologis ditengah pro dan kontra kebijakan pengendalian tembakau (Chifdillah, 2013). Upaya pemiskinan yang terjadi diantaranya adalah harga daun tembakau ditentukan sepihak oleh gudang atau pabrik rokok (Jayadi & Abriansyah, 2012). Penelitian menurut Rokhmah (2013) menyebutkan bahwa sebagian besar petani tembakau di Kabupaten Jember berpendidikan rendah (tidak bersekolah), sudah menjadi petani tembakau lebih dari 10 tahun serta memiliki penghasilan per bulan dibawah UMR. Dari aspek lingkungan, terdapat realitas bahwa cuaca yang tidak menentu memang menjadi persoalan tersendiri bagi petani tembakau (Chamim et al, 2011). Sementara itu, akibat dari dampak penurunan pangsa pasar kretek, PT HM Sampoerna menutup dua pabrik rokok sigaret kretek tangan (SKT) di Kabupaten Lumajang dan Jember, Jawa Timur, sehingga terdapat PHK karyawan pabrik rokok kretek sebanyak 1 juta orang sejak tahun 2008 (Jawa pos, 2014).
Dari sisi Kesehatan, saat ini Kabupaten Jember juga memiliki angka penderita PPOK yang tinggi. PPOK merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara disaluran napas yang tidak sepenuhnya refersibel. Penyakit PPOK dikarakteristikkan dengan adanya inflamasi bronkus di sepanjang saluran pernafasan, parenkim paru, dan sistem pembuluh darah pulmonar. Terdapat peningkatan jumlah makrofag, sel limfosit T ( terutama CD8+ ), dan neutrofil di berbagai bagian paru. Sel inflamasi yang teraktifkan ini akan melepaskan berbagai mediator inflamasi yang dapat merusak struktur paru atau memperlama inflamasi neutrofilik. Inflamasi di paru-paru disebabkan oleh paparan partikel dan gas berbahaya yang terhirup. Asap rokok dapat memicu inflamasi dan secara langsung merusak paru-paru (Rahmatika, 2009).
Faktor resiko PPOK adalah riwayat merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan kerja, hiperaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran napas berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1. Rokok adalah faktor penyebab terpenting dalam menyebabkan PPOK. Adapun riwayat merokok dalam peningkatan penyakit PPOK, meliputi kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %), pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, dan polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003). Data yang diperoleh dari RS Paru Kabupaten Jember tercatat jumlah kasus PPOK pada tahun 2013 yang dirawat inap sebayak 313 kasus. Jumlah ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 221 kasus.
Berdasarkan penjelasan kondisi di atas, serta tingginya jumlah kasus PPOK dan aktivitas merokok sebagai faktor resiko PPOK maka perlu dilakukan upaya dari pemerintah Kabupaten Jember untuk mengeluarkan kebijakan terkait pengendalian tembakau, yaitu dengan mengeluarkan peraturan bupati tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal di tempat umum seperti : rumah sakit, kantor pemerintahan, sekolah dan tempat ibadah. Dengan adanya kebijakan KTR di Kabupeten Jember diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya rokok serta dapat menciptakan udara bersih yang menjadi hak setiap orang, terutama bagi yang tidak merokok, perempuan dan anak-anak. Selain itu, KTR juga menjadi forum pembelajaran bagi masyarakat bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan lingkungan udara yang bersih, sehingga para perokok tidak sembarangan merokok di berbagai fasilitas umum. *

·         Penulis adalah Dosen di Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNEJ, Pengurus Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesi (PERSAKMI).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar